Jumat, 06 Mei 2011

Menemukan Kembali Dunia Melayu

Jejak Lepas (off-shore-foot) Dunia Melayu
Di mana kampung halaman (home land) Bahasa Melayu dan penutur bahasa itu? Sekarang makin jelas, sejak turunnya ke lapangan tokoh-tokoh ilmu sosial (social sientists) dari berbagai keahlian. Dalam tim investigasi ATMA-UKM (Lembaga Alam Tamadun Malaysia Universiti Kebangsaan Malaysia) berhimpun ahli bahasa (Iingguistik), arkeologi, antropologi, demografi, dan sejarah dari manca negara. Tim ATMA ini bekerjasama dengan Leiden University (Belanda) (2885) menampilkan hasil kajian sangat kontroversial pada permulaan abad ke-21 ini. Setidaknya sementara ini, telah terdapat tiga butir kesimpulan kajian tersebut, yaitu:
  1. Bahwa kampung halaman (home land) penutur Bahasa Melayu adalah Kalimantan Barat (West Borneo),
  2. Bahasa Melayu Dayak-Iban merupakan bahasa Melayu yang sangat autentik (asli), yang disebut sebagai “Proto—MaIayic.”
  3. Beberapa bahasa Melayu dari suku Dayak Iainnya yang masih “isolated" seperti : Ngaju dan Mayaan, walaupun satu sama Iain memiliki variasi, balk dari struktun phonology, dan lexicon, tetapi kadar keaslian bahasa-bahasa itu sangat tinggi ditandai antara Iain oleh minimnya pengaruh bahasa Sanskerta dan Arab.
Dengan ketiga kesimpulan di atas, maka berbagai pertanyaan Dunia Internasional seperti : Where was the protolanguage Malayic spoken? Where was the geographic homeland, di mana penutur bahasa Melayu pertama dan di mana kampung halaman mereka, telah terjawab. Para arkeolog, ternyata sangat berjasa menemukan berbagai fakta (artifak) dalam menjawab pertanyaan krusial di atas (Collins, 2886: 2). Sementara itu, ahli bahasa Prof. Adlaar dari Leiden University (1985), menegaskan bahwa keberatan Prof. Kern (1889), sebagai peneliti avval, terhadap Kalimantan Barat sebagai kampung halaman penutur asli bahasa Melayu, karena Kalimantan sebagai sebuah pulau terbesar ketiga di dunia yang jarang penduduknya (dispearse and lightly populated), dengan penemuan baru tersebut dapat diabaikan. Hampir seratus tahun yang Ialu, Prof. Kern (1889), bersikukuh mengajukan Champa/Kamboja (Indo-China) sebagai kampung halaman (homeland) penutur bahasa Melayu (proto» Malayic). Dengan hasil penelitian Din Adlaar dan penelitian-penelitian tim ATMA-UKM (2885) tersebut, hipotesis Dn Kern tersebut tidak dapat diterima Iagi.
Penelitian-penelitian di bidang arkeologi dan antropologi yang mutakhir di atas, juga menyatakan bahwa asal usul orang Indonesia, Brunei, dan Malaysia dewasa ini, yang semula dianggap berasal dari Indo—China, dengan sendirinya terbantah. Seperti juga dinyatakan oleh Belwood (1985: 124): "The old idea, so often repeated in popular work today, that the Austronesians migrated from the Asian mainland through the Malay Penisula or Vietnam is absolutely wrong? Arus migrasi orang-orang Kalimantan Barat tersebut, tersebar ke Utara ke arah Champa (Kambodia), dan ke Pulau Palawan, ke Selatan menuju Sumatra, Jawa, Lombok. Dari Sumatra kemudian naik ke utara menuju Malaya dan Patani, ke Timur arah ke Makassai; Ternate, dan Mindanou (Filipina). Sedang ke Barat ke arah pulau Andaman dan Madagaskar (Malagasy). Karena itu, dapat dimaklumi, suatu kajian disertasi program doktor Iinguistik budaya di Universitas Gadjah Mada (1987), mengemukakan persamaan struktur; phonetic, dan kosa kata yang signifikan antara bahasa—bahasa Malagasi
(Madagaskar), Iban (Kalimantan) dan bahasa orang Sasak di Lombok (NTB).
Lebih jauh, penelitian dari Leiden University (1985), menyatakan bahwa dalam konstruksi ponologi, lexicon, dan morfologi, memang terdapat perbedaan satu “IeveI varian" bahasa Melayu dalam enam bahasa daerah yaitu bahasa Melayu Malaysia, Minangkabau, Banjar Hulu, Serawai, Iban dan Betawi  yang disebut Prof. Adelaar (1985) sebagai “six decendant var.·ants" proto Malayic. Bahasa Jawa sendiri adalah bahasa Melayu yang sangat banyak menerima pengaruh bahasa Sangskerta dan kemudian Arab. Karena agama Hindu, Buddha, dan Islam telah melembaga dalam kerajaan-kerajaan ratusan tahun di Pulau Jawa. Berbeda dengan Jawa, Bahasa Melayu di Sumatra, Kalimantan Sulawesi, dan NTB  pengaruh bahasa Arab lebih menonjol ketimbang Bahasa Sansekerta.
Sementara itu, dalam naskah lLa Galigo, epik sastra Bugis (288 Masehi), tertua dan terbesar di dunia, dapat disimpulkan bahwa kata Melayu, merupakan identitas kesatuan seluruh suku-suku bangsa di nusantara, jadi ada Melayu Jawa, Melayu Minangkabau, Melayu Ternate atau Melayu Sumatra (Rahman 2885). Orang Bugis dan Makassar sendiri mengidentifikasi dirinya sebagai Melayu Bugis dan Melayu Makassan pebila berhadapan dengan kelompok etnik nusantara Iainnya. Sedang orang-orang Timur Tengah (Arab) menyebut orang-orang Malaysia, Brunei Darussalam dan Indonesia, sebagai orang Jawi.Semua itu mengindikasikan bahwa manusia di nusantara ini merupakan suatu kesatuan asal usul dan budaya (bahasa).
 
Pengaruh kesatuan asal usul bahasa bagi dunia Melayu
Pendekatan asal usul Bahasa Melayu di atas sangat komparatif dengan usaha para ahli-ahli ilmu sosial Eropa, sekitar dua ratus tahun yang lalu, dalam menemukan kampung halaman bahasa-bahasa Eropa (Proto-Indo—European and its homeland) (Collins, 2885: 2). Mengapa penemuan itu penting untuk Eropa? Seperti dinyatakan oleh Mallory (1973) lebih dari 38 tahun yang lalu:
"The location of the homeland and description of how the Indo-European langguages spread is central to any explation of how Europe became European. In a larger sense it is a search for the origins of western civilization"
Dalam text di atas, Mallory (1973) mengingatkan bahwa dengan menemukan tanah asal (homeland) dan penutur bahasa (proto-spoken European) orang Eropa sekarang, mereka sendiri akan memahami bagaimana orang Eropa menjadi Eropa. Dan lebih dari itu, orang Eropa kemudian dapat mengerti asal usul peradaban Eropa, yaitu budaya hellenisme (Aristotelian-Yunani). Inilah faktor utama yang mendorong gerakan "rennaisances" (kebangkitan kembali) Eropa. Dari jejak Iepas (offshore foot) l-lelIenisme—AristoteIian itu (walaupun peradaban hellenisme itu, telah dikembangkan kemudian oleh orang Islam selama hampir lima abad, yaitu abad ke 8 s/d 13), tetapi mereka kemudian bersatu melangkah dari jejak lepas l-lelIenisme—Arab itu membangun peradaban Eropa sekarang. Dunia menyebut peradaban itu sebagai peradaban Barat (western culture), atau peradaban yang modern (modern cu/ture), yang sekarang sangat dominan.
Justru itu, adalah suatu keberuntungan bagi dunia Melayu telah mendapatkan kejelasan kampung halaman, dan penutur asli Bahasa Melayu, sebagai kesatuan "jejak |epas" guna melangkah ke depan. Tetapi jejak Iepas mengenai kampung halaman Bahasa Melayu itu baru Iangkah pertama untuk menemu telusuri peninggalan budaya “he||enisme Melayu" dalam skoping yang lebih Iuas. Apakah umpamanya batik, tenun ikat atau ulos itu prototehnologi lexilles Melayu; jamu, minyak teripang/gamat, prototehnologi perobatan, pinisi, dan Iancang kuning prototehnologi maritim, tulisan asli Batak, Bugis (I La Galigo), Melayu kuno yang tertulis dalam ribuan lontara atau batu bersurat, prototehnologi pendidikan, apakah semua itu merupakan bahagian dari khasanah "protoHe||enisme Melayu"? Semua itu belum dapat terjawab. Karena sebahagian besar penelitian, masih berada di tangan orang-orang Barat dan baru dimulai secara intensip oleh UKM (Malaysia) dalam satu dekade ini. Seperti juga Budaya Hellenisme Yunani Kuno yang dikaji dan diperkaya oleh peradaban Islam, maka budaya Melayu juga diperkaya oleh peradaban Hindu-Buddha, Cina, Islam dan Barat. Tetapi sampai sekarang kita belum mengetahui “oore” asal usul pengetahuan dan tehnologi Melayu (proto—MaIayic) itu.
Dengan demikian, kita belum sepenuhnya dapat memahami bagaimana Melayu menjadi Melayu, dan dalam kontek yang lebih luas, kita juga belum mengerti bagaimana mengembangkan peradaban dan budaya (tamadun) Melayu ke depan secara menyeluruh dan sinergetik. Walaupun dalam sejarah budaya (tamadun) Melayu ke depan secara menyeluruh dan sinergetik. Walaupun dalam sejarah dikatakan bahwa kerajaan besar pertama di Indonesia, adalah Kerajaan Kulai, yang iaya pada abad—abad pertama masehi di Kalimantan. Sekarang umpamanya, kita masih bertengkar dengan orang-orang Malaysia, mengenai asal usul Batik, Reog Ponogoro, Lagu Terang Bulan, TarianZapir1, Teater Makyong, bahkan mengenai tahu dan tempe. Ini suatu bukti bahwa kita belum tahu siapa itu Melayu. Bagaimana orang Malayu menjadi Melayu seperti sekarang ini. Belum Iagi kita menelusuri siapa Aristo—PIato atau Socrates proto-Melayu ratusan tahun yang Ialu? Apakah itu Sawerigading (288 AD) dari Tanah Bugis, Kertagama dari Jawa, atau Iskandar Zulkarnaen di Bukit Siguntang-guntang, atau si Raja Batak dari Bakarra? Tol<oh—tokoh legendaris ini masih berada dalam dunia mitos bagi orang Melayu.

Dasar etika-moral paguyuban internasional
Sebagaimana juga beberapa peradaban lainnya di dunia, yang mengalami pasang naik dan surut, seperti peradaban Barat (western culture), peradaban Timur Tengah (Arab), Hindia dan China, tetapi secara struktural perdaban itu dibangun diatas empat Iandasan utama: (1) asal usul geografis, (2) stok majoritas manusia yang relatif sama, (3) bahasa, dan (4) moral agama.
Bahasa di samping agama telah menentukan "jati diri" (identitas) budaya bagi sebuah peradaban yang berkembang. Amerika Serikat dan Eropa Barat misalnya, walaupun disebut sebagai negara-negara sekular (yang memisahkan negara dari agama) tetapi jati diri, etika, dan moral bangsa itu adalah Kristen (misalnya tidak ada suatu dokumen dan upacara penting yang tidak dimulai dengan menyebut Tuhan dalam agama Kristen). Seperti di katakan Parsons (1967), seorang sosiolog terkemuka, bahwa niIai—niIal Kristen belum pernah terwujudkan sesempurna pada masyarakat Amerika Serikat seperti sekarang ini. Karena itu Bellah (1969) mengatakan agama Kristen di Amerika telah menjadi agama rakyat (civil religion), yang berdirl diatas etika WASP (White Anglo Saxon Protestan). Seperti disebutkan oleh antropolog Nagata (1976) ethnic dan agama rakyat setempat (civil releigion) itu telah diungkap dalam "satu nafasl" Sehingga orang di sana tidak perlu lagi memasang slogan atau nama, seperti yang masih diperjuangkan di Indonesia.
Dalam birokrasi pemerintahan Amerika relatif tidak ada diskriminasi bagi orang tidak berasal dari AngIo—8axon dan beragama Protestan, sepanjang etika dan moral yang menjadi rujukan nasional diindahkan. Presiden John E Kennedy adalah tokoh Katolik pertama yang membuktikan itu, sekarang apakah calon Presiden Barack Obama yang tidak berdarah Anglo Saxon itu dapat membuktikannya pula? Mungkin kasus Uni-Eropa dewasa ini lebih menonjol, karena struktur paguyuban mereka lebih rapi, balk dari segi struktural maupun kultural (sosial, politik, agama, geografis dan ekonomi). Mereka telah memiliki Parlemen, Presiden sendiri, dan kesatuan mata uang (Euro) yang sekarang lebih kuat dari mata uang dolar Amerika. Kesatuan yang diikat atas dasar kesamaan asal usul bangsa, geografis, bahasa dan agama itu, menyebabkan tidak sembarang negara dapat menjadi anggota Uni-Eropa. Dapat dimaklumi, apabila Turki, yang bersusah payah selama satu dekade ini untuk diterima menjadi anggota Uni—Eropa selalu gagal di tengah jalan. Begitu juga dalam dunia paguyuban Timur Tengah (Liga Arab), Cina dan Melayu, agama yang dijadikan “ciyil religion" seperti dinyatakan Bellah akan berfungsi sebagai dasar moral dan rujukan etika utama masyarakat paguyuban-paguyuban internasional dalam memajukan budaya dan martabat anggota—anggota paguyuban itu.

Re—inventing (menemukan kembali) dunia Melayu
Dunia Melayu dewasa ini, setelah Iepas dari penjajahan Barat, keberadaannya hampir sama dengan dunia Barat pada abad pertengahan. Memang, negara—negara Melayu (terutama Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam), telah bangkit dan menjalani masa-masa rennaisance (sejak 1958). Tetapi, orang Melayu masih mencari jejak Iepas dan identitas.
Masing—masing ketiga negara itu, secara geopolitik berasal dari tanah bekas jajahan asing. Karena itu juga reinventing dunia Melayu masih terkendala. Kelambanan untuk bangkit kembali, terutama bagi Indonesia terasa sangat kuat. Mungkin karena politik kolonial yang berbeda antara Inggris dan Belanda, sehingga beban sejarah juga berbeda. Malaysia dan Brunei Darussalam, selama penjajahan Inggris lebih mengarah kepada "mencerahan" ketimbang Indonesia di bawah Belanda yang terjadi adalah "pembodohan," maka kemajuan kedua negara Melayu itu telah jauh meninggalkan Indonesia.
Masalahnya dewasa ini, bagaimana ketiga negara serumpun itu, walaupun dibebani perbedaan beban sejarah kolonialisme yang berbeda, dapat bersinergi agar kekurangan dan kelebihan masing-masing secara bersama mampu membangkitkan "batang terendam" kejayaan dunia Melayu, tanpa harus menimbulkan berbagai akses yang bersifat degradatif. l<|aim beberapa faset budaya setempat, pulau-pulau diperbatasan, sampai kepada masalah TKW dan TKI, semua itu menunjukkan tidak hanya betapa piciknya pandangan terhadap kesatuan tammadun Melayu yang akan dibangun, tetapi juga memperlihatkan ketiadaan visi bersama yang jelas dan cerdas terhadap dunia Melayu itu sendiri dan masa depannya. Dunia Melayu harus bersatu dalam sebuah paguyuban internasional. Mungkin ASEAN tidak dapat digunakan, karena negara-negara yang tergabung di sana tidak memiliki keempat dasar yang sama seperti Uni—Eropa. Dalam rangka reinventing dunia Melayu, sudah waktunya masyarakat negara-negara serumpun Melayu memiliki paguyuban internasional yang kuat, mengingat faktor kesejarahan, lokasi geografis yang strategis, kesatuan budaya, agama, potensi SDA dan jumlah penduduk yang cukup besar:
Terlalu banyak rasanya program yang dapat diraih, ketika ketiga negara Melayu (MaIaysia-Indonesia-Brunei Darussalam) tergabung dalam satu paguyuban internasional. Kiranya, contoh seperti Uni—Eropa menjadi sangat ideal bagi dunia Melayulll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar