"I've been Searching for you
so long
my life will sacrificed
Like An Angel
you come to me now I see"
'Like An Angel' terdengar mengalun dengan lembutnya. Yngwie Malmsteen memperdengarkan kemahirannya bermain Gitar. Kamar berdinding putih ini tampak hening. Seorang pemuda tengah duduk diatas pembaringan dengan menengadah ke atas. Kesedihan terpancar jelas dari wajahnya. Tampak sesekali ia menghela nafas.
"Fen," desahnya.
Sudah setahun kamu pergi"tanpa kabar berita. Mengapa kau biarkan aku terus bingung seperti ini?" batinnya. Tanpa disadari, lamunannya membawa kembali pada kenangan 3 tahun yang lalu pada seseorang yang sangat ia sayangi.
Brrrrrrmmmmmm.
Deru motor bersahut-sahutan di sepanjang jalan. Saling berkejaran dan berusaha untuk saling mendahului. Masing-masing berlomba-lomba untuk memamerkan kebolehannya bersepeda motor. Sampai pada batas yang ditentukan, barulah suara-suara bising itu terdengar berkurang.
"Wah, hebat kamu, Re. Ternyata kamu memang masih yang terbaik. Aku mengaku kalah, deh!" puji Keni.
Pemuda yang bernama Rere itu hanya tersenyum saja mendengar pujian dari temannya. Tampak kemudian ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku celananya. Disulutkannya dengan api, dan mulailah ia terbawa dalam asap rokok itu.
"Biasa aja kok," ia akhirnya menyahut.
"Gimana, besok mau racing lagi?" tanya Keni.
"Gimana yach? Hari ini aja kita udah belet. Masa besok mau lagi!" sahut Rere.
"Ehm, iya juga sih. Ya, udah. Lain kali aja kita sambung lagi. Ok?" tanya Keni.
"Sip, dech!"
Keesokan harinya
Seorang gadis tampak berjalan dengan lincahnya menaiki tangga-tangga menuju kelasnya. Sesekali ia menebarkan senyumnya kepada orang-orang yang berpapasan dengannya.
"Satu..dua..satu..dua.."
hitungnya dalam hati.
Suasana sekolah masih terlihat lenggang. Padahal waktu telah menunjukkan pukul 12:30.
"Hai Fen, Ceria amat hari sih?" sapa Vita, sahabat karibnya yang baru saja datang.
"Eh, eloe, Vit. Kagetin aja, kirain siapa! Gue pikir ajudan gue mo jemput karna ada tugas penting", sahut Fenia sekenanya.
"CeileÉ.. pake ajuda, emangnya loe pikir loe siapa! Presiden? Sebokap nggak, senyokap nggak, sekakek juga bukan, sodaraan apalagi, seÉÉÉ"
"Eit, enough!" kata Fenia sambil membekap mulut Vita. Itu anak juga kalo nggak didiemin bisa nyerocos seharian. "Loe tanya apa tadi?"
"Yah, ampun. Kita ngomong kagak didengerin. Emang enak dicuekin!" sahut Vita ngambek.
"Ye, segitu aja ngambek. Gue tau kok. Gue sengaja pengen bikin loe sewot. He ..he .. he ... " Fenia menyahut lucu. 'Ceria kan yang ditanyain? Iya, mesti donk. Nggak kerasa udah hampir dua minggu kita jadi anak SMA. Masa loe nggak seneng, sih?" sambung Fenia. "Padahal rasanya baru aja kemarin kita masih jadi anak SMP, eh sekarang udah berubah tambahnya lagi.
"Emang sih Aku juga seneng, kok!" sahut Vita, udah nggak ngambek lagi.
"Eh, kita turun dulu, yuk!
Liat-liat keadaan", ajak Fenia akhirnya. "Mumpung masih sepi, nich!"
"Ah, emang dasar kamu orangnya nggak bisa diem. Tapi, okelah!" Vita mengiyakan.
Kedua gadis itu pun bergandengan tangan menuruni anak tangga sambil menyenandungkan lagu 'Aku Seorang Kapiten', ehÉ..salahÉ..'Till Death Do Us Part'. Saat itu, dari kejauhan, tampak seseorang sedang memperhatikan tingkah laku kedua gadis itu, Fenia dan Vita,
Bukk! Suara tas menghantam pundak seorang pemuda yang sedang memandangi Fenia dan Vita "Hei, Re. Kok ngelamun aja, sih? Entar kesambit setan, Iho!" goda Reynald. "Liatin siapa sih? Serius amat!" sambungnya lagi.
"Nggh, eloe! Nggak boleh liat orang lagi asik aja. Gangguin aja, tau!" omel Rere.
"Habis, tumben-tumbenan jagoan kita ngelamun di sekolah. Mikirin PR yang belon dikerjain, hhh...boro-boro. Dunia kiamat juga loe nggak bakal bergeming!" sambung Reynald lagi.
"Eh, berisik! Diem nggak... ,atau gue bikin gantungan kunci, loe
"Fenia nih, ye!" goda Reynald.
"Eh, loeÉÉÉ." Rere tampak terkejut.
"Kenapa? Kok gue tau, gitu? Kok tahu, kok tau, ya tau donk!" jawab Reynald. "Re, Re, Gue kenal ama loe tuch bukan baru kemarin sore. Loe dari ujung rambut sampai ujung kaki, gue udah hafal!" sambung Reynald lagi. Loe naksir kan ama Fenia? Udah Dech, nggak usah diumpetin lagi. Vita juga udah tau, kok. Itu kesimpulan kami berdua. Keliatan juga sih dari gerak-gerik loe kalo loe tuh sering merhatiin dia, Tul, kan!" desak Reynald. Iya deh, Iya deh. Gue kalah. Pinter juga loe sekarang sejak 'jalan' ama Vita. Nggak telmi lagi kayak dulu!" Rere akhirnya mengalah.
"Siapa dulu, donk. Reynald!" sambil tersenyum penuh kemenangan. "Tapi, loe tenang aja deh. Gue sama Vita pasti bantuin loe. Oce!" katanya lagi.
Rere cuma tersenyum saja mendengar ucapan temannya itu.
.. Memang; berkat bantuan Reynald dan Vita, Rere mulai dapat akrab dengan Fenia. Mereka sering ngobrol bersama untuk diskusi,
maupun sekedar 'Say Hello' aja. Hingga beberapo. minggu kemudian, dengan dorongan dari Reynald dan Vita, Rere memberanikan diri untuk menyatakan cintanya pada Fenia.
"Fen, kamu suka baca puisi nggak? Tanya Rere pada Fenia ketika.mereka sedang istirahat.
"Suka, kok! Gue juga kadang- kadang bikin kalo lagi iseng. Kenapa, Re?" tanya Fenia.
"Hm, gini. Gue punya satu puisi. Entar loe baca, yach. Loe bilang bagus atau tidak!" pinta Rere.
"OK, Re!" sahut Fenia.
Sesampainya di rumah, ketika Fenia telah selesai mandi, ia pun teringat akan puisi yang diberikan Rere sore tadi sebelum pulang. Bergegas ia mengambilnya dan membaca puisi itu.
"Aku menangis namun tak tahu apa yang kutangisi
Aku marah namun tak tahu untuk apa
Aku tertawa namun tak tahu apa yang kutertawakan
Kesedihan se/a/u datang padaku
Aku mencari seseorang yang kucintai
Namun aku tidak mendapatkan apa-apa
Aku menemukan seseorang
Namun ia tidak pernah melihat padaku
Aku hanya membutuhkan seseorang untuk dicintai
Mengapa aku tidak mendapatkan apa-apa"
Fenia selesai membaca puisi itu. Ia melipat kertas itu sambil bertanya tanya apa maksud dari puisi itu. Tiba tiba telpon berdering.
"Halo, bisa bicara dengan Fenia? kata suara diseberang sana.
"Ya, saya sendiri!" sahut Fenia. "Siapa Yach!?"
"Fen, ini Rere. Kamu udah selesai baca puisi itu?" tanya Rere.
"Ya, udah sih, Tapi aku nggak ngerti nih!" sahut Fenia.
"Hm, nggak apa-apa deh.
Kamu tau? Puisi itu buat kamu Iho!" lalu Rere terdiam.
"Fen, gue mo cerita tentang diri gue sendiri nih. Loe mo dengerin nggak?" tanya Rere.
"Mau, donk. Kala kamu juga percaya sama gue", jawab Fenia.
"Aku percaya sama kamu, kok. Gini, Iho. Loe tau kan, gue ini orangnya terkesan urakan. Gue hobi racing, terus nggak bisa lepas dari asap rokok, bahkan akhir-akhir ini menjurus ke minuman keras. Kenapa gue lakuin itu semua? Karena gue nggak ada yang merhatiin Gue selalu diasing-kan Gue butuh seseorang untuk mendukung gue. Gue butuh seseorang untuk memperhatikan gue
Dan sekarang gue udah menemukan orang itu. Orang itu adalah kamu, Fen. Karna itu, gue pengen kita bisa jadi temen dekat, dalam arti lebih dari sekedar teman. Maukah kamu, Fen?" Rere menjelaskan panjang lebar.
Ah, Re. Ini terlalu tiba-tiba. Aku nggak bisa menjawabnya sekarang. Beri aku waktu untuk berpikir, Re!" pinta Fenia.
" Baiklah, Fen Maaf kala semua ini membuatmu terkejut! Bye, Fen!"
"Bye!"
Dan, klik! teleponpun ditutup. Di seberang sana terlihat Rere masih memandangi gagang teleponnya dengan raut wajah putus asa. Ia tau bahwa semua usahanya ini akan sia-sia. Fenia tidak mungkin dapat menerimanya.
Hari itu munken adalah hari yang terindah bagi Rere. Tanpa diduganya, ternyata Fenia juga telah mempunyai perasaan yang sama dengannya. Betapa Rere merasa bahwa Fenia benar benar bagaikan seorang Malaikat dalam hidupnya. Sejak hari itu pun, mulailah mereka menjalani hari hari bersama. Sedikit demi sedikit, Rere berusaha untuk memperbaiki dirinya. Menjauhkan dirinya dari asap rokok, juga dari dunia racing yang digemarinya.
Semuanya terajut begitu indah. Saling membantu, saling mengingatkan dan saling berbagi rasa. Namun, semuanya itu seakan sirna bagi Rere ketika mendengar berita yang dibawa oleh Fenia Saat itu Rere sudah hampir tamat dan Fenia juga akan naik ke kelas 3.
Jerman, Fen? Itu terlalu jauh!" tampak keterkejutan dimata Rere. "Tidak bisakah kamu menolaknya?"
"Yah, itulah keputusan akhirnya. Aku tidak bisa berbuat apa apa lagi. Segalanya telah dipersiapkan dengan baik. Papa ingin aku melanjutkan sekolah di luar negeri. Minggu depan aku berangkat!" sahut Fenia.
Dan terdiamlah mereka berdua.
Demikianlah, hingga hari ini tidak terasa setahun sudah Fenia pergi melanjutkan sekolahnya ke Jerman. Dan selama itu pula tidak pernah ada sedikit pun kabar berita darinya. Bahkan sepucuk surat pun dari Fenia untuk Rere tidak pernah hadir. Padahal sebelum pergi, Fenia telah telah berjanji untuk rajin menulis surat bahkan kalau bisa, untuk menelepon.
Teeeeeeeeeetttt!
Rere tersentak dari lamunannya ketika mendengar suara bel rumahnya berdering panjang. Dengan kesal, ia melangkahkan kakainya menuju ke pintu untuk melihat siapa yang datang karena saat itu tidak ada orang lain lagi di rumah kecuali dia sendiri. Keluarganya sedang sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri di luar rumah.
Dengan malas ia membuka
pintu. Dan betapa terkejutnya ia melihat siapa yang datang.
"Hai, Re? Apa kabar?"
Rere sangat terkejut melihat siapa yang saat ini berdiri di hadapannya.
"Fen, ini benar kamu, Fenia?" Rere seakan tidak percaya dengan apa yang dilihatnya kini.
Yah, ini aku. Aku pulang untuk liburan! Surprise kan!" sahut Fenia.
"Kamu sudah pulang?" sahut Rere lagi masih tak percaya. Dikucek-kuceknya kedua matanya untuk memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Tapi itu memang sosok Fenia, orang yang sangat dirindukannya.
"Kenapa, Re? Kaget yah?" goda Fenia.
" Kenapa, Fen? Kenapa? Kenapa selama ini kamu nggak pernah kasih kabar apa-apa? Kenapa kamu membiarkan aku hidup dalam kebingungan selama satu tahun? Kamu nggak pernah nulis surat, kamu nggak pernah telepon! Kamu jahat, Fen, Aku kira kamu sudah melupakanku!" kata Rere melampiaskan segala keluh kesahnya.
"Iya, aku memang salah, Aku minta maaf. Sebenarnya aku juga rindu sama kamu. Aku nggak bermaksud membuatmu menunggu dan hidup dalam kebingungan. Cuma, aku sengaja. Aku pengen nguji kamu. Aku pengen tau seberapa besar rasa sayang kamu ke gue! Dan ternyata, kamu tetap setia kan?" Sahut Fenia dengan raut wajah yang lucu.
"Fen, kamu memang keterlaluan!" kata Rere sambil memeluk gadisnya itu.
Bagaimanapun, baginya Fenia adalah seorang malaikat dalam hidupnya. Seseorang yang sangat disayanginya. "Terima kasih, Tuhan! Engkau telah memberikan gadis sebaik ini untukku!" bisik Rere dalam hati.
Dan matahari pun seakan ikut tersenyum dan berbahagia untuk mereka. 'Like An Angel' terus mengalun dengan lembutnya.
"Like An Angel
You come to me and now I see"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar